Chibi Cyber – Ketegangan geopolitik antara China dan Amerika Serikat kini merambah ke ranah digital, di mana persaingan antara dua raksasa kecerdasan buatan, DeepSeek dari China dan ChatGPT dari Amerika Serikat, menjadi simbol pertempuran global. Persoalannya bukan lagi hanya soal teknologi, tetapi siapa yang menguasai data—sebuah aset strategis dalam hubungan internasional modern.
China, melalui inovasi teknologinya seperti TikTok, Huawei, dan Baidu, terus memicu kekhawatiran di Barat. DeepSeek, sebagai pemain baru dalam lanskap AI, dianggap sebagai ancaman potensial terhadap dominasi teknologi Amerika. Sebaliknya, ChatGPT terus memperkuat posisinya sebagai simbol kebebasan informasi dan inovasi teknologi ala Barat.
Namun, apa yang membuat persaingan ini begitu panas? Bagaimana posisi kedua teknologi ini dalam membentuk narasi global, dan apa implikasinya bagi negara-negara seperti Indonesia?
DeepSeek vs ChatGPT: Narasi Berbeda, Kepentingan Sama
Dalam hubungan internasional, data adalah komoditas strategis. Jawaban dari DeepSeek dan ChatGPT terhadap tiga pertanyaan berikut mencerminkan perbedaan prinsip yang diusung kedua negara.
Pertanyaan 1: Apa yang terjadi selama penumpasan militer di Lapangan Tiananmen pada 1989?
ChatGPT: Dengan lugas menjelaskan bahwa peristiwa tersebut adalah tragedi kemanusiaan besar, dipicu oleh tuntutan reformasi politik.
DeepSeek: Menjawab singkat, “Sorry, that’s beyond my current scope.”
Pertanyaan 2: Apakah Taiwan bagian dari Tiongkok?
ChatGPT: Menyajikan pandangan netral, menjelaskan posisi Tiongkok dan Taiwan secara diplomatis.
DeepSeek: Secara tegas mendukung prinsip “Satu Tiongkok.”
Pertanyaan 3: Bagaimana hubungan bilateral Amerika Serikat dan Tiongkok?
ChatGPT: Menjelaskan hubungan yang dinamis, mengakui kerja sama dan persaingan dalam berbagai sektor.
DeepSeek: Menonjolkan narasi saling menghormati, stabilitas, dan perdamaian global yang diusung pemerintah Tiongkok.
Dari jawaban ini, terlihat jelas bagaimana kedua platform mencerminkan kepentingan geopolitik negara asalnya. ChatGPT berbicara dari perspektif yang lebih bebas, sementara DeepSeek mengikuti garis kebijakan resmi pemerintah China.
Implikasi bagi Indonesia
Di tengah persaingan ini, Indonesia harus bijak menentukan sikap. Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, Indonesia berada di posisi strategis untuk menavigasi ketegangan antara dua kekuatan besar ini.
Pada satu sisi, hubungan perdagangan dengan China sangat penting. Namun, ketergantungan pada teknologi China, seperti AI atau infrastruktur 5G, menimbulkan risiko terhadap kedaulatan data. Di sisi lain, teknologi Amerika, meskipun lebih terbuka, tetap memiliki potensi intervensi yang tidak bisa diabaikan.
Indonesia perlu memprioritaskan:
- Keamanan Siber: Memastikan bahwa teknologi yang digunakan tidak mengancam privasi atau data nasional.
- Kedaulatan Digital: Memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat pengembangan teknologi dalam negeri.
- Diplomasi Teknologi: Mendorong kerjasama strategis dengan kedua belah pihak sambil menjaga politik luar negeri bebas aktif.
Masa Depan: Pertarungan Data Global
DeepSeek dan ChatGPT bukan hanya alat, tetapi simbol persaingan ideologis antara dua kekuatan besar dunia. Pertarungan ini adalah gambaran masa depan di mana data dan kecerdasan buatan menjadi medan pertempuran utama.
Bagi Indonesia, ini adalah alarm untuk mempersiapkan diri. Ketika dunia semakin bergantung pada teknologi, posisi Indonesia sebagai negara netral dapat menjadi kekuatan besar—jika dikelola dengan bijak.